Kamis, 07 Maret 2013

Menggugat Kebudayaan Mekongga


Menggugat Kebudayaan Mekongga

Oleh:  Ridwan Demmatadju

Minat masyarakat Kolaka untuk mendiskusikan perkembangan kebudayaan Mekongga hari ini secara lebih serius dan berorientasi jauh ke depan, sangat sepi peminatnya.Soal ini rupanya tidak hanya dialami pihak yang berkepentingan dengan perkembangan kebudayaan Mekongga, Dinas Kebudayaan dan Pariwisata, tetapi juga dialamai oleh kalangan masyarakat Kolaka ( baca : orang pribumi) yang mengaku sebagai pemilik sah warisan kebudayaan Mekongga.Sehingga hari ini perkembangan kebudayaan Mekongga mengalami ketertinggalan dengan budaya daerah lain yang ada di Indonesia.

Sejauh pengamatan penulis di Kabupaten Kolaka, kegiatan-kegiatan yang berkaitan dengan penelitian dan pengembangan budaya Mekongga di Kolaka yang lebih serius, seperti melibatkan perguruan tinggi yang memiliki basis peneliti dan penulis kebudayaan tidak pernah berlangsung. Kalaupun ada kegiatan-kegiatan yang berkaitan dengan seni budaya Mekongga, seperti kongres yang diadakan oleh Lembaga Adat Tolaki-Mekongga (LATKOM) terkesan sangat tertutup dan sepi dari publikasi media baik cetak maupun media televisi, sehingga masyarakat secara luas tidak mengetahui apa yang jadi tema dan tujuan kegiatan tersebut.Padahal menurut hemat penulis, seharusnya kegiatan ini dipublikasikan secara lebih luas agar diketahui oleh seluruh masyarakat di Kabupaten Kolaka, khususnya dan lebih luas untuk masyarakat Indonesia.

Ini salah satu permasalahan yang bisa dibaca dalam perjalanan pengembangan kebudayaan Mekongga di Kolaka, selain masih banyak persoalan substantif yang mestinya sudah dapat disimpulkan oleh para tokoh dari suku Mekongga hari ini, Dari catatan penulis, terlihat jelas bahwa persoalan yang masih menyelimuti pikiran para tokoh adat Mekongga di Kolaka, seperti soal saling klaim keturunan raja Mekongga yang selalu dijadikan alasan perdebatan untuk menentukan kedudukan seseorang dalam lembaga adat Mekongga. Susana perdebatan sesungguhnya bukan hal yang tabu untuk dimunculkan sebagai sebuah perbedaan pandangan atau argumentasi, jika diikuti dengan kerangka argumentasi yang obyektif dan ilmiah.Untuk itulah dibutuhkan sebuah upaya yang  komprehensif  dengan melibatkan semua pihak yang memiliki pemahaman dan pengalaman tentang kebudayaan secara konseptual untuk melakukan kajian wacana kebudayaan Mekongga. Saat ini, perdebatan soal kebudayaan Mekongga di Kolaka terkesan tidak memiliki kerangka yang obyektif dan ilmiah, karena diskusi atau kegiatan yang berkaitan kebudayaan Mekongga berjalan sendiri-sendiri tanpa melibatkan banyak pihak yang memiliki kompetensi dan kepedulian tentang kebudayaan secara umum. Wajar saja jika hasil dari kegiatan yang membicarakan soal kebudayaan Mekongga, tidak bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiah dan selalu berujung pada perdebatan yang selalu berulang ketika membicarakan kebudayaan Mekongga.

Menurut, Ahmaruddin Haruna, salah satu seniman seni rupa jebolan mahasiswa Fakultas Seni Rupa dan Desain (FSRD) ITB Bandung di Kolaka menyatakan dalam diskusi budaya di Warkop KNPI Kolaka, Kamis (7/3), bahwa perdebatan soal klaim keturunan dan simbol-simbol budaya Mekongga sudah harus disimpulkan untuk melangkah pada persoalan-persoalan yang lebih substantif dan berkelanjutan. Saat ini membicarakan Kebudayaan Mekongga sebagai sebuah khasanah budaya yang ada di Sulawesi Tenggara, belum menunjukkan sebuah gerakan yang kuat di tengah masyarakat, padahal sesungguhnya begitu banyak tradisi yang terlupakan dalam masyarakat  Mekongga di Kabupaten Kolaka terlupakan begitu saja dalam aspek kehidupan masyarakat di Kabupaten Kolaka. Seperti Upacara “Mosehe Wonua” yang seharusnya bisa dilaksanakan setiap tahunnya, namun faktanya tradisi ini tidak pernah dilaksanakan secara bersama antara pihak tokoh adat Mekongga dan Pihak Pemerintah Kabupaten Kolaka, sebagaimana lazimnya upacara-upacara ritual di sebuah daerah kebudayaan di Indonesia.

Dari gagasan pemikiran Ahmaruddin Haruna yang terungkap ini, nampaknya sejalan dengan penulis, bahwa sudah saatnya dimunculkan kesadaran baru di kalangan masyarakat Kolaka untuk merasa memiliki budaya lokal, khususnya budaya Mekongga.Sehingga penanaman nilai-nilai budaya Mekongga dapat melebar dan meresap di semua aspek kehidupan bermasyarakat.Hal ini dapat menjadi gerakan kebudayaan yang patut mendapat dukungan semua stakeholder yang ada di Kabupaten Kolaka.Memang untuk mewujudkan gerakan perubahan paradigm berkebudayaan ini terasa akan sulit dimulai, jika tokoh adat Mekongga yang ada di Kolaka tidak bisa melepaskan egoisme ketokohan yang tidak rasional sekaligus tidak memiliki dasar yang kuat untuk memastikan ketokohannya dalam struktur kebudayaan      Mekongga. Sekali lagi untuk menyelesaikan persoalan ini, keterlibatan unsur dari luar kebudayaan Mekongga harus ada, dan diberikan ruang untuk memberikan pandangan yang obyektif untuk memastikan kedudukan dan fungsinya secara ilmiah. Jika perlu, pelibatan peneliti, pakar budaya dari kalangan perguruan tinggi ternama, seperti Universitas Indonesia, Universitas Gajah Mada atau Universitas Hasanuddin yang dianggap lebih netral, obyektif sekaligus berpengalaman melakukan kajian budaya di Indonesia.

Hal inilah, yang perlu dilakukan untuk memastikan bahwa tujuan untuk menggali dan mengembangkan kebudayaan Mekongga di Kabupaten Kolaka sehingga bisa sejajar dengan kebudayaan yang ada di Indonesia.

Sebagai penulis yang peduli dengan kebudayaan Mekongga, hingga saat ini masih merasakan buruknya kebijakan dari pihak Pemerintah Kabupaten Kolaka untuk melakukan penggalian dan pengembangan nilai-nilai kebudayaan Mekongga, dengan melihat politik anggaran yang sangat minim untuk mengembangkan kebudayaan, serta peraturan daerah yang  berpihak pada pengembangan kebudayaan Mekongga hari ini, tidak terlihat secara nyata peran pemerintah bersama DPRD Kolaka.Kenyataan ini, semestinya bisa dimaknai oleh tokoh masyarakat adat mekongga sebagai sebuah upaya melemahkan perkembangan nilai-nilai kebudayaan Mekongga. Sudah saatnya kesadaran untuk menjadikan budaya Mekongga menjadi sebuah nilai yang hidup dalam semua aspek kehidupan bermasyarakat di Kolaka.

                                         Penulis adalah jaringan pekerja seni budaya




  







1 komentar:

  1. Artikelnya cukup menarik mas, kalau boleh tahu apakah mas orang asli kolaka juga?
    Saya juga melihay selama ini tidak ada simbol" atau aspek budaya kolaa yang ditonjolkan, misal seperti simbol motif atau ukiran khas, ataupun rumah adat khas yang dikhususkan pemerintah, padahal kolaka pasti punya budaya asli sebelum masuknya pendatang.. sekarang posisi lagi di kolaka, saya lulusan desain interior tapi punya interest ke budaya juga, kalau mau berbagi informasi id line: kevinshosen

    BalasHapus