Minggu, 24 Februari 2013

Sajak-Sajak Ridwan Demmatadju


Sajak-sajak
Ridwan Demmatadju
Mengukir di Balik Pulau Lemo
Matahari perlahan merangkak dibalik bukit pulau kecil itu
Perempuan itu berpijak di atas batu kapur
Suara gemuruh gelombang menghempas di bibir pantai
Setiap kali kulihat kapal-kapal membawa tanah merah
Air laut keruh menggulung lumpur di atas karang
Siang itu,dibalik pulau kecil itu
Keulihat wajah-wajah nelayan kecil berlari
Dia membawa keranda dibalut kain hitam
Lalu memanjat cerobong asap pabrik
Dan berteriak menantang matahari
lalu terjatuh dan digilas sepuluh roda ban mobil
Yang membawa tanah milik moyangnya.
Siang di tengah terik matahari itu
Ribuan nelayan-nelayan tak lagi melaut
sambil membawa keranda
dia berjalan ke meja penguas yang sedang tertidur pulas
Sehabis makan di atas piring penderitaan nelayan-nelayan kecil itu.
Karena laut telah digadaikan dengan kepentingan
Karena tanah merah milik moyangnya telah dijadikan prasasti bisnis
Dan nelayan-nelayan kecil terus berlari mencari pusara kematian
Untuk mengubur harapan dan cinta yang lahir di tengah kemiskinan
Engkau datang menitipkan sebuah pisau belati
dibalik punggungmu,dan engkaupun berkata
"Perubahan harus dimulai dengan mengukir di balik pulau"
"Semuanya harus membuka mata dengan cinta yang tak terbalas"
Inilah harga yang tak pernah terbeli para nelayan kecil Tambea
Aku menulis sajak ini karena kulihat wajah anakku mulai bertanya tentang bumi yang tak pernah bicara dan menjanjikan masa depannya.
Watuliandu,24 Nopemeber 2008.
Melukis Wajah-Mu
Ketika malam begitu senyap
Tak ada angin yang merap pelan
Hanya suara binatang malam
Aku menunggu-Mu dilipatan tanah merah
Karena kutahu Engkau selalu ada menungguku
Suara gemercik air yang jatuh di atas batu kerikil
Wajah-wajah masa silamku datang mengendap
Dari balik pohon cengkeh yang rimbun
Dan aku tahu engkau telah kesepian di batas cakrawala
Dan langit perlahan melukiskan kesunyian yang menderamu
Aku datang dengan segumpal harapan
Setiap kali kuingat wajahmu
Hati tergores dan luka yang tak peranah terobati lagi
Disini,aku menunggu-Mu'
Begitu banyak pertanyaan yang belum engkau jawab
Tentang perjalanan yang tak menentu arahnya
Dari balik jendela rumah kayu ini
Aku memandang jauh ke atas bukit
Kutemukan jasadmu tergeletak kaku
Tak lagi bicara tentang harapan dan cinta
Semua telah terkubur bersama ranting-ranting usiamu
Aku selalu mencari-Mu
Dengan sejuta goresan hati yang terbalut kain kanvas putih
Dengan warna-warna yang terindah dalam sanubariku
Lukisan yang tak pernah selesai itu,
Menjadi kenangan terindah di jiwaku
Terpanjang kaku diberanda rumahku
Dengan warna yang mulai memudar kelam.
Watuliandu 7 Januari 2008
Aku Ingin Cinta itu
Menulis di Helai Rambutmu
Dirimu terbaring dibalut angin setiap malam
kita meneguk segelas anggur merah dengan cahaya temaran
Meninggalkan matahari malam makin jauh
Dari atas bbuk/it Tamborasi
Engkau selalu menghianati wajah perempuan
yang membaca pesan singkat di handpone itu
Dan telah tertidur pulas setelah
menikmatinya di atas kasur kumal
Dengan sajian dari laut Pantai Ria Mekongga
Nafasku kini berwarna
setiap kali kupandangi cerobong asap hitam
dari balik jendela rumah kayu di tanah yang merah itu
Air mata masih terus mencari kain putih
Yang terbenam dalam kepingan jiwa yang bergerak
Mencari keadilan yang selalu terhempas di mulutmu
Hari ini,
Aku tahu engkau telah menabur dusta
di seribu wajah petani dan nelayan
selalu tertindas dengan lidah
yang tak bertulang itu.
Watuliandu,5 Juni 2005
Mencari Anak Yang Hilang
Dulu pernah kita berjalan kaki
Menyusuri jalan-jalan kota yang sepi
Pada malam itu
wajahmu masih terbayang dalam ingatanku
ia duduk di bibir pantai Losari di balut ombak
memandang pulau impian di balik cakrawala
Tentang perjalanan anak kecil
Yang mengais serpihan air mata
Mengering di terik matahari,
setiap kali aku bertanya pada bulan purnama
Dan angin malam yang perlahan melukai hati kita
Malam itu,
Aku dengar kembali suara-Mu
Anak kecil itu terus berlari mencari-Mu
Dengan keperihan yang makin tajam
Aku juga tidak mampu membaca mozaik
Tergeletak kaku di atas pusara
Lembaran waktu makin jauh
meninggalkan kenangan yang pernah kita simpan
sambil menyanyikan lagu "Wonderful To Nigth"
kita meninggalkannya sendirian,begitu saja
tetapi wajah anak kecil itu tak pernah ku lupakan
terus berlari mencari nasibnya sendiri
Kolaka,5 Juni 2005.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar